Melirik Nama-Nama Enam Istri Sunan Gunung Jati
Maqbaroh dan Ilustrasi Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah |
Kuburan Sunan Gunung Jati yang selalu dipenuhi peziarah. SUDAH lama pernikahan jadi fasilitas penebaran agama. Hal tersebut pernah dilaksanakan oleh Sunan Gunung Jati saat proses penebaran Islam di daerah Priangan. Si wali bukan hanya memperistri seseorang saja, atau 4 orang sama sesuai tuntunan Islam, tetapi 6 orang. Walaupun dalam saat yang tidak bertepatan.
Dalam buku Riwayat Indonesia Kekinian 1200-2004, M.C. Ricklefs menerangkan bila hubungan pernikahan menjadi satu diantara langkah efisien untuk menebarkan tuntunan Islam. "Sunan dan beberapa substitusinya dipandang mainkan peran penting dalam penayangan agama Islam... lewat penguasaan, perkawinan-perkawinan, atau lewat ceramah beberapa sisa siswanya".
Tidak diterangkan siapa istri pertama, ke-2 , ke-3 dan sebagainya dari Sunan Gunung Jati. Tetapi yang jelas pernikahan si wali dilaksanakan dalam bentang saat yang berlainan. Dalam sebuah dokumen tasawuf tidak dengan judul, yang selanjutnya dinamakan Dokumen Kuningan: Riwayat Wali Syekh Syarif Hidayatullah-Sunan Gunung Jati, terjemahan Amman N. Wahju dijumpai jika pernikahan Sunan Gunung Jati dilaksanakan sesudah dia usai berguru ke seorang pakar qiro'at (membaca Al-Qur'an) namanya Pengeran Makdum, putra Raja Andalusia.
Dokumen Kuningan sendiri dicatat dalam huruf Arab Pegon, dan memakai bahasa Jawa Kuno aksen Cirebon dan Sunda. Menurut Amman, dokumen babad itu berisi serangkaian tembang yang terdiri dari 21 pupuh, 170 saleh, dan 1.480 padan. Dalam dokumen asli yang ditranslate oleh Amman tertera waktu pembikinan dokumen, yang bila dimasehikan jadi 4 April 1880 M.
Berikut beberapa nama wanita yang sempat jadi istri Sunan Gunung Jati.
Nyi Gedeng Babadan
Selesai usai belajar, si guru Pangeran Makdum memerintah Sunan Gunung Jati untuk jalan ke barat. Di situ dia harus menjumpai Gedeng Babadan alias Maulana Huda dan perdalam agama Islam dengannya. Sepanjang proses belajar dalam barat, Pangeran Makdum yakini Sunan Gunung Jati akan menjumpai jodohnya.
"Karena itu Syekh Maulana Jati ikuti panduan itu dan pergi ke barat, ke Banten," catat Amman.
Setiba di Banten, Sunan Gunung Jati mendapati Maulana Huda sedang dilanda kegelisahan. Bencana kekeringan yang menerpa Banten sepanjang beberapa saat sudah merusak pertanian rakyat. Dalam Dokumen Kuningan diceritakan bila Sunan Gunung Jati menolong persoalan kekeringan itu.
Menyaksikan tanahnya kembali subur, Maulana Huda benar-benar suka. Dia juga terima pendatang itu dan siap mengajarkannya. Dalam prosesnya Sunan Gunung Jati lalu dijodohkan dengan putri Maulana Huda, Nyi Gedeng Babadan. Tetapi sayang pernikahannya itu tidak hasilkan turunan. Dokumen Kuningan yakini jika Nyi Babadan ialah istri pertama Sunang Gunung Jati.
Nyi Rara Jati
Sesudah datang dari Banten, Sunan Gunung Jati mulai menebarkan Islam di Cirebon dan sekelilingnya. Dia selanjutnya berjumpa dengan Syekh Datuk Kahfi, juga dikenal sebagai Syekh Nurjati, salah seorang penebar Islam pertama di Cirebon. Ke-2 nya sama-sama belajar, dan sama menebarkan tuntunan Islam di tatar Sunda.
Sunan Gunung Jati diperkenalkan oleh Syekh Nurjati ke putrinya, Nyi Rara Api atau Nyi Rara Jati. Ke-2 nya juga berjodoh. Dalam sebuah dokumen pengetahuan tasawuf, Dokumen Mertasinga, diedarkan dalam buku Riwayat Wali: Syekh Syarif Hidayatullah-Sunan Gunung Jati (Dokumen Mertasinga) hasil terjemahan Amman N. Wahju, disebut bila pernikahannya itu memiliki 2 orang putra, yaitu Pangeran Jayakalana dan Pangeran Bratakalana.
Dalam Dokumen Mertasinga ada sepotong cerita kehidupan si wali, terhitung tuntunannya sepanjang proses penebaran Islam di Cirebon dan sekelilingnya.
Nyi Mas Pakungwati
Pernikahan Sunan Gunung Jati seterusnya dipandang seperti perjodohan yang paling punya pengaruh dalam penebaran Islam di Cirebon dan Priangan. Riset yang sudah dilakukan A. Sobana Hardjasaputra dan Tawalinuddin Haris dalam buku Cirebon dalam Lima Jaman: Era ke-15 sampai Tengah Era ke-20 menyebutkan bila tahun 1479 Pangeran Cakrabuana memberikan kekuasaannya ke Sunan Gunung Jati.
Waktu itu, Sunan Gunung Jati sudah sah menikah dengan putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis, yakni Nyi Mas Pakungwati. Sesudah mendapatkan posisi sebagai penguasa Cirebon, Sunan Gunung Jati selekasnya mengubah wujud pemerintahannya jadi kerajaan Islam. Peralihannya dilaksanakan untuk perkuat kemampuan Islam di tanah Sunda dan menebarkannya ke luar Cirebon.
Sepanjang pernikahannya dengan Nyi Mas Pakungwati Sunan Gunung Jati diangkat sebagai wali oleh Dewan Wali, gantikan Sunan Ampel yang sudah meninggal dunia. Tidak diterangkan dengan tentu berapakah putra dan putri yang didapat Sunan Gunung Jati pada pernikahannya ini tapi banyak dari mereka yang meninggal dunia saat sebelum melanjutkan ceramah si wali.
Nyi Tepasari atau Rara Tepasan
Perjodohannya kali ini lebih banyak dikatakan sebagai proses legalitas dan penyebaran Islam ke daerah yang bertambah luas. Dalam Dokumen Kuningan Sunan Gunung Jati menikah dengan putri Nyi Gedeng Tepasan, yang cucu dari Raja Majapahit Sri Angerehrah, Rara Tepasan.
Dokumen Kuningan tidak menerangkan siapa sebetulnya figur namanya Sri Angerehrah ini. Dalam beberapa literatur disebut jika pada periode Sunan Gunung Jati berjumpa dengan Rara Tepasan (akhir era ke-15) kekuasaan di Majapahit digenggam oleh Raja Singhawikrama Wardhana.
"Dari pernikahannya ini Sunan Gunung Jati memiliki 2 orang anak, yaitu Ratu Ayu dan Pangeran Pasarean, yang nantinya turunkan beberapa raja Carbon di masa datang," catat Amman.
Nyi Kawung Anten
Asal mula Nyi Kawung Anten masih jadi pembicaraan. Beberapa periset menyebutkan bila istri Sunan Gunung Jati ini ialah adik Bupati Banten waktu itu. Tetapi literatur lain menyebutkan bila dia ialah cucu raja Pakuan, adik dari Prabu Mandi Pethak atau Dipati Cangkuang.
Dalam Dokumen Kuningan diceritakan tatap muka Sunan Gunung Jati dengan Nyi Kawung Anten terjadi pada keadaan yang unik. Saat sedang jalan-jalan ke Pakuan, Sunan Gunung Jati mendapati sebuah istana yang kelihatan sudah ditinggal oleh penghuninya.
Saat telusuri tiap ruangan dalam istana itu, Sunan Gunung Jati mendapati figur wanita. Singkat kata mereka juga berjodoh. Dan dari pernikahannya ini terciptalah Ratu Winahon dan Pangeran Sebakingkin. Nantinya turunan Sunan Gunung Jati ini jadi bupati di Banten.
Syarifah Baghdadi dan Ong Tien Nio
Dalam Babad Cirebon termuat dalam buku Jawa Barat dalam Lima Instansi kreasi Edi S. Ekadjati, dikisahkan tiga figur penting dari Arab yang menebarkan Islam di Cirebon, yaitu Syarif Abdurrahman, Syarif Abdurrahim, dan Syarifah Baghdad. Mereka ialah saudara kandungan, putra dan putri dari Sultan Baghdad.
"Mereka diperintah untuk melaut ke Pulau Jawa oleh si ayah. Di Cirebon ke-3 nya berguru ke Syekh Nurjati dan dikenalkan dengan Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon." catat Bambang Setia Budi dalam Mushola Kuno Cirebon.
Ke-2 putra Sultan Baghdad selanjutnya membangun mushola masing-masing sebagai pangkalan penebaran tuntunan Islam mereka. Dalam pada itu saudara wanita mereka, Syarifah Baghdadi, menikah dengan Sunan Gunung Jati. Dia juga ikut menolong penebaran agama Islam bersama saudara dan suaminya.
Dalam pada itu, pernikahan Sunan Gunung Jati dengan putri turunan Tiongkok, Ong Tien Nio sedikit terekam. Beberapa periset semakin banyak meduga bila pernikahan itu terjadi saat pemerintahan Cirebon lakukan jalinan dagang dengan beberapa orang Tionghoa.
Tatap muka ke-2 nya terjadi di Tiongkok saat Sunan Gunung Jati bertandang ke situ. Tetapi pernikahannya terjadi di Jawa. Untuk jaga jalinan baik sama mereka, sekalian menebarkan tuntunan Islam di kelompok masyarakat asing itu, Sunan Gunung Jati menikah dengan Ong Tien Nio.
Dampak Tiongkok sendiri sebetulnya benar-benar kental berasa di Cirebon. Banyak bangunan mushola yang dipenuhi dengan ornament Tiongkok, seperti keramik, piring, dan kerajinan ciri khas Tiongkok yang lain. Hal tersebut cukup perkuat bukti ada jalinan yang kuat di antara Sunan Gunung Jati dengan etnis Tionghoa
Posting Komentar untuk "Melirik Nama-Nama Enam Istri Sunan Gunung Jati"
Posting Komentar