Sejarah dan Cerita Lengkap Syekh Syarif hidayatullah Sunan Gunung Jati Cirebon
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah ialah salah satu wali yang menebarkan agama Islam di Jawa barat. Sunan Gunung Jati dilahirkan Tahun 1448 Masehi.
Ayahnya ialah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Besar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang paling dikenali sebagai Syekh Maulana Besar untuk golongan Sufi di Tanah Air.
Dan Ibu Sunan Gunung Jati ialah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im) yakni putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Melarang, dan sebagai adik dari Semakin Santang atau Pangeran Walangsungsang yang bertitel Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Riang yang berguru ke Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad namanya asli Idhafi Mahdi bin Ahmad.
Pada umur 20 tahun, Syarif Hidayatullah ke Mekah untuk menuntut Pengetahuan. Sesudah usai menuntut pengetahuan di tahun 1470 ia pergi ke Tanah Jawa untuk mempraktikkan ilmunya.
Di situ, Syarif Hidayatullah muda bersam ibunya disongsong senang oleh pangeran Cakra Buana. Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda'im tiba di Negeri Caruban Melarang Jawa Barat di tahun 1475 setelah singgah lebih dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambahkan pengalaman. Ke-2 orang itu disongsong senang oleh Pangeran Cakra Buana dan keluarganya.
Syarifah Mada'in meminta supaya dibolehkan tinggal dipasumbangan Gunung Jati dan disitu mereka membuat pesantren untuk melanjutkan upayanya Syeh Datuk Latif gurunya pangeran Cakra Buana.
Maka dari itu Syarif Hidayatullah diundang Sunan Gunung Jati. Lantas dia dinikahkan dengan putri Cakra Buana Nyi Pakung Wati selanjutnya dia dipilih jadi pangeran Cakra Buana yakni di tahun 1479 dengan diangkatnya dia sebagai pangeran ceramah islam dilakukan lewat diplomasi dengan kerajaan lain.
Seterusnya yakni di tahun 1479, karena umurnya telah lanjut Pangeran Cakrabuana memberikan kekuasaan Negeri Caruban ke Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan maknanya orang yang dijunjung tinggi.
Disebut, pada tahun awal pemerintahannya Syarif Hidayatullah bertandang ke Pajajaran untuk berkunjung kakeknya yakni Prabu Siliwangi. Si Prabu dibawa masuk Islam kembali tetapi tidak ingin.
Walau Prabu Siliwangi tidak ingin masuk Islam, ia tidak merintangi cucunya siarkan agama Islam di daerah Pajajaran. Syarif Hidayatullah selanjutnya meneruskan perjalanan keSerang. Warga Serang telah ada yang masuk Islam karena jumlahnya saudagar dari Arab dan Gujarat yang kerap berkunjung ketempat itu. Kehadiran Syarif Hidayatullah disongsong baik oleh adipati Banten.
Bahkan juga Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putrid Adipati Banten yang namanya Nyi Kawungten. Dari perkawinan berikut selanjutnya Syarif Hidayatullah di karuniai orang putranya itu Nyi RatuWinaondan Pangeran Sebakingking.
Pada umur 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari kedudukannya untuk cuma memperdalam ceramah. Kekuasaan itu diserahkannya ke Pangeran Pasarean. Di tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati meninggal dunia dalam umur 120 tahun, di Cirebon (dahulu Carbon). Dia disemayamkan di wilayah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitaran 15 km saat sebelum kota Cirebon dari arah barat.
Langkah Penebaran Islam Sunan Gunung Jati
Dalam menebarkan agama islam di Tanah Jawa, Sunan Gunung Jati tidak bekerja sendirian. Sunan Gunung Jati kerap turut bermusyawarah dengan anggota wali yang lain di Mushola Demak. Bahkan juga disebut beliau menolong berdrinya Mushola Demak.
Dari pertemanannya dengan Sultan Demak dan beberapa Wali yang lain ini pada akhirnya Syarif Hidayatullah membangun Kesultanan Pakungwati di Cirebon dan dia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Pada zaman Syarif Hidayatullah ataupun lebih dikenali dengan gelar Sunan Gunung Jati bisa disebutkan sebagai zaman keemasan (Golden Age) perubahan Islam di Cirebon. Saat sebelum Syarif Hidayatullah, Cirebon dipegang oleh Pangeran Cakrabuana (1447-1479) sebagai rintisan pemerintah berdasar azas Islam, dan sesudah Syarif Hidayatullah, dampak beberapa penguasa Cirebon masih berlindung dibalik kebesaran nama Syarif Hidayatullah.
Dengan berdirinya Kesultanan itu Cirebon tak lagi mengirimi upeti ke Pajajaran yang umumnya diteruskan melalui Kadipaten Galuh. Perlakuan ini dipandang seperti pemberontakan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tidak perduli siapakah yang berdiri dibalik Kesultanan Cirebon itu karena itu dikirimnya pasukan prajurit opsi yang dipegang oleh Ki Jagabaya.
Pekerjaan mereka ialah tangkap Sunan Gunung Jati yang dipandang lancang mengusung diri sebagai raja saingan Pajajaran. Tetapi usaha ini gagal, Ki Jagabaya dan anak buahnya justru tidak kembali lagi ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan jadi penganut Sunan Gunung Jati.
Dengan tergabungnya prajurit dan perwira opsi ke Cirebon karena itu semakin besarlah dampak Kesultanan Pakungwati. Beberapa daerah lain seperti Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan sebagainya mengatakan diri jadi daerah Kesultanan Cirebon. Terlebih dengan diperlebarnya Dermaga Muara Jati, semakin besarlah dampak Kasultanan Cirebon.
Sebagai anggota Wali Songo dalam berdakwahnya Sunan Gunung Jati mengaplikasikan beragam sistem pada proses islamisasi di tanah Jawa. Adapun macam sistem ceramahnya yaitu memakai sistem "maw'izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan".
Disamping itu, sistem "Al-Hikmah" sebagai mekanisme dan langkah berdakwah beberapa wali yang disebut jalan kebijakan yang diselanggarakan secara terkenal, menarik, dan spektakuler.
Langkah ini mereka gunakan dalam hadapi warga pemula. Dengan tata langkah yang sangat arif, warga pemula itu mereka temui secara masal, terkadang kelihatan spektakuler bahkan juga ganjil dan unik hingga mengundang perhatian umum.
Ke-3 , yaitu sistem "Tadarruj"atau"Tarbiyatul Ummah", dipakai sebagai proses kategorisasi yang disamakan dengan tahapan pengajaran umat, supaya tuntunan islam secara mudah dipahami oleh umat dan pada akhirnya digerakkan oleh warga secara rata. Sistem ini jadi perhatian tiap tingkatan, tingkat, talenta. Materi dan kurikulumnya, adat ini tetap diterapkan dilingkungan pesantren.
Sunan Gunung Jati di lingkungan penduduknya selainnya sebagai pendakwah, berperanan sebagai politisi, pimpinan dan berperanan sebagai budayawan.
Penyeleksian Cirebon sebagai pusat kegiatan ceramahnya Sunan Gunung Jati, tidak bisa dilepaskan hubungan dengan lajur perdagangan, demikian pula sudah diperhitungkan dari faktor sosial, politik, ekonomi, nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang tentukan kesuksesan penebaran Islam seterusnya
(Sumber: Makalah Sunan Gunungpati, IAIN Syekh Nurjati Cirebon.)
Posting Komentar untuk "Sejarah dan Cerita Lengkap Syekh Syarif hidayatullah Sunan Gunung Jati Cirebon"